Refleksi 16 Tahun Tsunami Aceh: Pentingnya Edukasi Menyelamatkan Diri dari Tsunami secara Mandiri

1

Mengenang 16 Tahun peristiwa Tsunami Aceh, tepatnya pada tanggal 26 Desember, MGMP Jawa Timur, Dongeng Geologi dan Kagama bersama Guru Geografi se – Indonesia yang tergabung dalam MGMP Geografi dan Praktisi, Pemerhati Kebencanaan mengadakan webinar dengan tajuk: Edukasi Dini Mitigasi Risiko Tsunami di Indonesia. Acara ini menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat melalui institusi pendidikan sedini mungkin agar secara mandiri masyarakat dapat menyelamatkan diri dari tsunami. Kekhawatiran ini sangat beralasan, jika menilik bahwa tsunami merupakan salah satu bencana yang paling banyak merenggut korban jiwa dan menimbulkan kerugian sangat besar, hanya dalam hitungan menit.

Materi disampaikan oleh Dr. Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi, LIPI. Acara ini juga dihadiri oleh Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Dr. Muhammad Burhannudinnur, Iswahyudiharto, Ketua MGMP Geografi Jawa Timur dan Dr. Amien Widodo, Ketua MKPI (Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim) ITS.

Garis Pantai dan Zona Megathrust.

Dengan kondisi alam Indonesia yang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, dan sebagian besar pantai berhadapan dengan kawasan megathrust mengakibatkan Indonesia memiliki ancaman tsunami yang serius. Menurut National Geosphysical Data Center telah lebih dari seratus ribu korban jiwa yang diakibatkan dari kejadian tsunami. Jika berdasarkan pada catatan tertulis selama 1900 – 2012, setidaknya rerata dalam setahun sekali Indonesia akan mengalami kejadian gempa bumi dan tsunami yang merusak (Parwanto dan Oyama, 2014).

Hati – hati terhadap Tsunami Earthquake

Pada konsep dasar Tsunami, gelombang diakibatkan dari pergerakan vertikal dari dasar laut yang turut menggerakan tubuh air dan membawa air laut menuju daratan yang kenal sebagai gelombang tsunami. Maka, tsunami biasanya didahului dengan adanya gempa bumi. Meski tidak pada semua peristiwa tsunami, seperti Tsunami Mentawai tahun 2010, frekuensi gempa lebih lemah dari gempa biasanya dan tidak dirasakan oleh penduduk sehingga menewaskan sekitar 500 jiwa. Gempa semacam ini dikenal dengan Tsunami Earthquake atau Silent Earthquake. Maka, gempa tidak dapat menjadi satu – satunya parameter dan dibutuhkan tanda – tanda lain untuk menyadari bahwa tsunami akan terjadi.

Gambar 1. Istilah – istilah dalam peristiwa tsunami. Jika terdapat informasi ketinggian tsunami 20 meter maka perlu diperhatikan bahwa ketinggian yang dimaksud adalah ketinggian tsunami diukur dari ketinggian normal yang berlokasi di garis pantai. (dipresentasikan oleh Dr,Eko Yulianto, 26 Desember 2020)

 

Tanda – tanda  sebelum Tsunami terjadi

Dr. Eko Yulianto, memaparkan banyak kisah dari para penyintas di beberapa peristiwa Tsunami, diantaranya Pak Kaliman yang melihat surutnya air laut dan sungai, sehingga ikan-ikan tergeletak dan berhamburan. (Tsunami Pangandaran, 2006). Kemudian, adanya suara dentuman, suara gemuruh angin yang terdengar sebelum tsunami Aceh 2004 dan tsunami Pangandaran 2006 berdasarkan dari kesaksian Harianto dan Mocthar Sharla Emilda, Hal yang serupa diungkapkan oleh Emirzah pada peristiwa Tsunami Aceh. Tanda lainnya adalah burung-burung Bangau terbang berkelompok meninggalkan hutan Mangrove menuju ke perbukitan. Peristiwa ini disaksikan oleh Brigjen TNI Soerojo Gino. Tegus Sutrando juga mengungkapkan bahwa terdapat garis hitam muncul di cakrawala.

Tips selamat dari Tsunami

Dari ciri-ciri diatas, kita bisa lebih waspada dan sadar akan ancaman bencana alam ini. Maka, kita perlu mengetahui strategi mitigasi dan evakuasi tsunami. Menurut Dr. Eko Yulianto, strategi agar kita dapat lolos dari bencana tsunami, yaitu abaikan harta benda, berlari ketempat yang tinggi tanpa membawa kendaraan, jangan menuju sungai dan jembatan, jadikan benda yang dapat mengapung sebagai pelampung, berlindunglah ke bangunan tinggi, bukit bahkan pohon yang kuat dan tinggi, atau jika sedang berada di lautan, melajulah menuju ke laut. Terakhir, tsunami selalu terjadi lebih dari satu gelombang. Dr. Eko Yulianto juga memaparkan bahwa terdapat upaya lain yang sangat penting yaitu membangun tata ruang yang baik pada daerah dataran pantai, baik dengan relokasi kawasan ke tempat yang lebih tinggi, membangun fasilitas shelter sebagai kawasan evakuasi, dan tindakan edukasi yang persuasif dengan melalukan simulasi tsunami di kawasan potensi bahaya.

Tantangan Mitigasi Risiko Tsunami di Indonesia

Keterbatasan kecepatan waktu dalam menginformasikan peristiwa sebelum tsunami terjadi menjadi tantangan terbesar dalam melakukan evakuasi masyarakat pada kawasan terdampak bencana tsunami. Teknologi terkini di Indonesia mampu menginformasikan waktu paling cepat dalam durasi 10 menit setelah gempa yang memicu tsunami terjadi.Namun, sangat disayangkan, beberapa peristiwa tsunami, gelombang menghempas daratan lebih cepat dari durasi waktu tersebut. Tantangan ini membuat masyarakat perlu melakukan upaya mandiri mengenali tanda tanda tsunami. Selain itu kesadaran masyarakat untuk melakukan simulasi tsunami secara sukarela masih sangat rendah sehingga diperlukan strategi – strategi teknis yang persuasif, salah satunya dengan mengkombinasikan kegiatan yang sudah lebih populer bagi masyarakat. Terakhir dan yang menjadi poin penting yaitu pembanguan pusat – pusat perekonomian pada kawasan potensi ancaman tsunami akan menimbulkan potensi kerugian finansial yang besar di masa mendatang.

Gambar 2. Fasilitas masjid yang biasa digunakan sebagai lokasi evakuasi, mempermudah mobilisasi masyarakat karena sudah terbiasa dikunjungi. (dipresentasikan oleh Dr,Eko Yulianto, 26 Desember 2020)

Penulis : Selvia Maharani Kusuma ( Teknik Geologi Universitas Sriwijaya)

Liked it? Take a second to support Dongeng Geologi on Patreon!

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here