Antisipasi Erupsi Merapi di Masa Pandemi

0

Kelompok Studi Kawasan Merapi (KSKM) berkolaborasi dengan Dongeng Geologi menggelar webinar dengan judul “Antisipasi Erupsi Merapi di Masa Pandemi.” Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya aktivitas vulkanik Gunung Merapi akhir–akhir ini. Sehingga statusnya ditingkatkan menjadi Siaga (Level III) sejak 5 November 2020, setelah sebelumnya berada pada tingkat Waspada (Level II) selama 2,5 tahun terakhir. Kegiatan ini bertujuan mengetahui kondisi Gunung Merapi pada saat ini, bagaimana skenario–skenario erupsi yang berkemungkinan terjadi dalam waktu dekat, bagaimana aktivitas vulkanik saat ini ditinjau dari sejarah geologi dan histori erupsinya. Dan yang tak terpenting bagaimana pengelolaan pengungsi dalam masa tanggap bencana alam erupsi Gunung Merapi ini sementara pandemi Covid–19 masih berkecamuk.

“Merapi bukan sekedar gunung berapi aktif sedunia. Pada 2006 lalu dalam diskusi budaya tentang Sejarah Merapi dan Enigma Mataram terlihat betapa Gunung Merapi telah memberikan pengaruh sosial budaya kepada masyarakat yang bertempat tinggal disekelilingnya yang tercatat hingga masa Medang lebih dari 10 abad silam, “ tutur Ma’rufin Sudibyo sebagai representasi KSKM dan Dongeng Geologi dalam sambutannya.

Lebih lanjut ia juga memerikan betapa Gunung Merapi tak selalu anteng dalam aktivitasnya. Hingga 2006 gunung berapi aktif dengan populasi manusia terpadat yang menghuni kaki–lerengnya dikenal dengan perilakunya yang kalem. Tekanan gas yang sangat kecil sehingga magma menumpuk di lubang erupsi menjadi kubah lava yang kian membesar. Dan kemudian longsor sebagai awan panas guguran atau wedhus gembel. Tapi gambaran itu lenyap dalam aktivitas 2010. Saat itu Merapi membawa hawa angkara, memuntahkan debu vulkaniknya berkilometer ke udara sembari menghempaskan awan panasnya hingga 15 km ke tenggara.

Potensi erupsi eksplosif mengecil

“Gunung Merapi menjadi salah satu gunung berapi yang rajin meletus, dimana 80 % erupsi magmatisnya merupakan erupsi efusif,” demikian Dr. Agus Budi Santoso memaparkan. Narasumber pertama ini adalah Kepala Seksi Gunung Merapi pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Erupsi efusif merupakan letusan leleran yang dicirikan oleh pembentukan kubah lava dan wedhus gembel. Erupsi efusif Merapi demikian khas sehingga dikenal sebagai tipe Merapi. Namun tipe erupsi dominan Gunung Merapi justru berupa erupsi freatik (19 %), baru kemudian disusul dengan erupsi tipe Merapi (16 %). Yang mengejutkan, erupsi besar dalam bentuk erupsi subplinian ternyata mencapai proporsi 6 % sepanjang histori erupsi Merapi dalam empat abad terakhir.

Gunung Merapi berstatus Siaga Level III (sumber Dr. Agus Budi Santoso )

Geliat Gunung Merapi pada saat ini dapat dibandingkan dengan sejarahnya pasca letusan besar 1872. Letusan 2010 merupakan letusan besar, yang memuntahkan 130 juta meter kubik material letusan. Terbentuk kawah besar di puncak, dengan ukuran 431 m x 358 m dan kedalaman 150 m. Dinding kawah bagian tenggara telah terbuka (sobek) sehingga aliran awan panas pasca 2010 senantiasa mengarah ke sini. Pasca letusan besar 2010, Gunung Merapi sempat beristirahat selama 3 tahun lamanya sebelum kemudian mulai menjalani volcanic unrest hingga 5 tahun kemudian. Selama volcanic unrest, erupsi demi erupsi freatik berkali– kali terjadi.

Kronologi Aktivitas paska erupsi 2010 Vs 1872 

Pada 2018 volcanic unrest berkembang lebih lanjut menjadi erupsi magmatis yang melibatkan magma segar dalam sebuah siklus ekstrusi. Status aktivitas Gunung Merapi naik menjadi Waspada (Level II) mulai 21 Mei 2018. Kubah lava mulai muncul pada 10 Agustus 2018 dan terus berkembang. Pada puncaknya volume kubah lava mencapai 400.000 meter kubik dan secara teratur mulai ambrol sebagai awan panas yang mengarah ke tenggara. Saat ini volume kubah lava tinggal separuhnya dan relatif stabil. Fase ini boleh dikata berakhir pada akhir 2019 / awal 2020.

Pasca erupsi freatik terakhir (21 Juni 2020), Gunung Merapi menunjukkan tanda–tanda siklus ekstrusi baru. Ditandai dengan migrasi magma segar baru menembus diatrema, yang tecermin melalui pemantauan seismik dan deformasi. Menjelang 4 November 2020, energi seismiknya sudah melampaui kondisi menjelang pembentukan kubah lava 2006. Energi seismik yang sama juga sudah mendekati nilai status Siaga (Level III) pada Letusan 2010. Sementara dari sisi deformasi, terdeteksi penggelembungan Gunung Merapi pada semua sisi. Meski pada saat ini penggelembungan terbatasi hanya di sektor barat laut (sebesar 12 cm/hari).

Perbandingan Kondisi Gunung Merapi saat ini dan saat erupsi 2006 serta 2010 (sumber Dr. Agus Budi Santoso )

Pasca penetapan status Siaga (Level III), aktivitas seismik Gunung Merapi cenderung stabil meski tetap tinggi. Analisis menunjukkan magma segar baru kini berada di kedalaman 1.500 meter di bawah puncak. Tidak nampak tanda–tanda peningkatan aktivitas seismik. Pemantauan morfologi kawah menunjukkan belum ada tanda–tanda pembentukan kubah lava. Sebaliknya banyak terjadi guguran dalam kawah, yang berasal dari kubah–kubah lava tua yang memagari kawah. Guguran disebabkan oleh kian intensifnya getaran di puncak seiring migrasi magma segar baru.

“Dalam kondisi ini, terbuka dua kemungkinan erupsi. Yang pertama adalah erupsi efusif yang cepat (tidak seperti periode 2018–2020). Dan yang kedua erupsi eksplosif yang tidak sebesar Letusan 2010,” lanjut Dr. Agus Budi. Pasca penetapan status Siaga (Level III), potensi terjadinya erupsi eksplosif telah mengecil. Sebab tekanan yang dialami Gunung Merapi kini tidak sebesar 2010 silam. Kini gempa–gempa hembusan juga lebih sering terjadi diikuti dengan kepulan asap menerus dari kawah aktif, menandakan berkurangnya tekanan gas.

Aktivitas Merapi pasca letusan besar

BPPTKG telah membentuk dua prakiraan bahaya yang berlaku hingga level dusun (unit di bawah desa). Yakni prakiraan antara dan rencana kontijensi. Prakiraan antara berlaku sejak status Siaga (Level III) ditetapkan. Yang meliputi radius 5 km dari kawah aktif kecuali ke arah utara–timur laut–timur. Prakiraan antara mencakup 30 dusun. Sedangkan prakiraan rencana kontijensi berdasarkan pada asumsi terbentuknya kubah lava hingga volume 10 juta meter kubik. Dengan separuhnya gugur menjadi awan panas, maka landaan awan panas bisa mencapai 9 km ke tenggara untuk sektor Kali Gendol. Prakiraan ini mencakup 5 desa.

Perkiraan Bahaya Siaga 5 November (Antara)

Prakiraan bahaya rencana kontijensi 2020

“Gunung Merapi telah terbentuk sejak 1,7 juta tahun silam. Tubuh gunung ini dapat dibagi menjadi proto Merapi, Merapi Tua dan Merapi Muda,” demikian Dr. Agung Harijoko menjelaskan. Narasumber kedua adalah Kepala Pusat Studi Bencana Alam UGM sekaligus staf pengajar departemen Teknik Geologi UGM. Proto Merapi masih tersisa pada saat ini sebagai Gunung (bukit) Turgo dan Plawangan di selatan serta Gunung Bibi di timur. Merapi Tua nampak sebagai tubuh gunung yang elevasinya lebih tinggi ketimbang Proto–Merapi hingga mencapai (bekas kawah) Pasar Bubar. Dan Merapi Muda adalah kerucut Gunung Anyar yang menjulang dari Pasar Bubar hingga ke kawah aktif sekarang beserta semua endapan lava, awan panas dan lahar pada saat ini.

Gunung Merapi menjadi salah satu gunung berapi aktif yang paling banyak dipantau, baik di Indonesia maupun dunia. Sehingga dinamikanya tak hanya menjadi perhatian khalayak domestik, namun juga kalangan internasional. Pemantauan merupakan salah satu dari tiga komponen pengurangan resiko bencana, disamping komponen penilaian potensi bencana dan

komunikasi akan bencana tersebut kepada khalayak umum. Puncak dari pemantauan sebuah gunung berapi adalah prakiraan letusan dan jangkauannya. Prakiraan letusan mencakup style of eruption, durasi letusan dan dampaknya kepada infrastruktur dan populasi manusia yang terpengaruh.

Prakiraan letusan terbagi dalam prakiraan jangka pendek dan jangka panjang. Prakiraan jangka pendek berbasis kepada data pengamatan saat ini, sementara prakiraan jangka panjang bertumpu kepada data geologi khususnya data tefrokronologi (usia lapisan–lapisan endapan material letusan). Keterbatasan prakiraan jangka panjang pada saat ini adalah kurangnya data umur lapisan–lapisan material letusan. Atau terbatasnya lapisan yang bisa dieksplorasi karena sepenuhnya tertimbun lapisan–lapisan yang lebih muda.

“Letusan Gunung Merapi memiliki kelas–kelas mulai dari kelas A (terlemah) hingga kelas D (terkuat),” lanjutnya. Letusan 2010 adalah contoh letusan kelas D bersama dengan Letusan 1872 dan Letusan 1822. Data geologi menunjukkan letusan sekelas ini berkali–kali terjadi di masa silam, setidaknya hingga 3.000 tahun lalu. Interval (selang waktu perulangan) letusan besar Gunung Merapi terhitung cukup panjang, layaknya gunung–gunung berapi lainnya. Interval tersebut melampaui rata–rata umur manusia, sehingga tidak selalu dijumpai dalam satu generasi.

Sejarah menunjukkan bahwa pasca letusan besar Merapi (merujuk kejadian Letusan 1872), gunung itu cenderung beristirahat beberapa tahun lamanya. Untuk kemudian giat kembali dengan erupsi kecil–kecil berupa erupsi debu / freatik yang bertipe vulkanian lemah/sedang. Aktivitas vulkanik kemudian berlanjut ke fase magmatis dalam rupa erupsi tipe Merapi. Apakah pasca Letusan 2010 juga mengikuti pola demikian?

Penanganan pengungsi saat ini

“bencana alam bisa terjadi secara mendadak, namun juga bisa perlahan–lahan. Keduanya harus bisa diminimalisir,” demikian Drs. Birawa Yuwantana M,Si memulai paparannya. Narasumber ketiga ini adalah Kepala Pelaksana BPBD Propinsi DIY. Ia kemudian memaparkan situasi Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum, yang mengandung semua potensi bencana geologi (gempa bumi, gunung meletus, tsunami) dan hidrometeorologi (banjir, gerakan tanah, badai/angin kencang dan kekeringan).

Situasi tersebut menjadi lebih kompleks seiring terjadinya pandemi Covid–19 pada saat ini. Pada November 2020 ini seluruh kab/kota di DIY mengalami lonjakan kenaikan kasus baru harian, yang diduga terkait dengan aktivitas interaksi antar manusia dalam libur panjang akhir Oktober lalu.

Apa Yang Harus dilakukan saat status Gunung Merapi Siaga ?

Meningkatnya aktivitas Gunung Merapi tentu harus diikuti dengan kegiatan pengurangan resiko bencana. Kegiatan tersebut melibatkan tiga komponen yang saling terkait

  • pemahaman ancaman bencana, peningkatan kapasitas dan pengurangan kerentanan. Dalam pemahaman ancaman bencana, prakiraan antara BPPTKG sesungguhnya hanya mencakup satu desa terdampak Status Siaga (Level III) Gunung Merapi. Yakni Desa Glagaharjo (dusun Kepuharjo) dengan jumlah populasi rentan 516 orang. Andaikata aktivitas Gunung Merapi terus meningkat dan benar–benar berujung pada letusan baru, maka kawasan yang terdampak akan lebih luas. Yakni meliputi 10 desa di kecamatan Turi, Cangkringan dan Pakem. Jumlah populasi terdampak pun melonjak hingga 16.462 orang, belum terhitung hewan ternak.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas maka BPBD DIY telah memiliki rencana kontijensi tingkat kabupaten (Sleman) dan rencana kontijensi tingkat propinsi dengan dukungan penuh BNPB. Barak–barak pengungsian dan jalan–jalan raya yang menjadi alur evakuasi diperbaiki. Seiring masih berlangsungnya pandemi Covid–19, maka protokol kesehatan diterapkan dalam penanganan pengungsi. Di dalam barak–barak pengungsian dibuat sekat–sekat / bilik–bilik, dimana tiap bilik ditempati hanya oleh satu keluarga. Akses masuk ke barak–barak pengungsian sangat dibatasi, orang luar tak diperkenankan masuk. Bak–bak cuci tangan disediakan di sekeliling barak–barak pengungsi dilengkapi dengan sabun / hand sanitizer. Setiap petugas atau relawan yang menangani barak harus menjalani rapid test. Pada tahap antara saat ini disepakati relawan yang menangani pengungsi adalah relawan lokal. Sementara relawan lintas daerah diminta bersiap–siap sembari tetap mematuhi protokol kesehatan.

 

Liked it? Take a second to support Dongeng Geologi on Patreon!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here