Pahami Alur Nalar Tsunami 20 meter

0
“Abang ada dongeng apa kali ini ?”
Thole,Kali ini ada cerita dari Pakde Dr Eko yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI tentang memahami Alur Nalar Tsunami 20 meter”
Dr Eko yulianto
Beberapa hari belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan berita ancaman tsunami 20 meter di selatan Jawa. Berita ini ksemakin menimbulkan kepanikan ketika banyak medsos menambah-nambahinya dengan informasi yang cenderung menyasar pada pusat rasa takut masyarakat. Informasi yang perlu diketahui oleh masyarakat dari paper yang baru terbit itu tidak ada yang baru. Semuanya sudah pernah dikemukakan. Robert MacCaffrey sudah mengemukakan dalam publikasinya pada tahun 2008 bahwa secara hipotetis jalur subduksi selatan jawa yang memiliki panjang lebih dari 1800 km (dari selat sunda hingga nusa tenggara) memiliki potensi menghasilkan gempa berskala 9,6 jika runtuh secara bersamaan, dan akan berulang setiap 675 tahun. Yang perlu dipahami oleh masyarakat dan juga reporter adalah bahwa paper tersebut dibangun dengan banyak asumsi atau logika “jika” Asumsi adalah sesuatu yang dianggap benar padahal belum tentu benar. Karena basisnya adalah banyak asumsi maka kesimpulannya menjadi digiring oleh semua asumsi-asumsi yang digunakan itu. Jadi angka 20 m itu muncul jika dan hanya jika asumsi-asumsi itu benar; Seandainya salah satu asumsi atau “jika” itu salah maka angka 20 meter itu akan luluh dengan sendirinya atau berubah. Berikut ini “jika-jika” yang digunakan:
  • Jika memang seismicity gap sepanjang itu memang runtuh dan menghasilkan gempa (karena tidak semua seismik gap terbukti memicu gempa);
  • Jika gempa raksasa terakhir itu terjadi 400 tahun lalu dan belum terjadi gempa besar lagi hingga saat ini (karena boleh jadi gempa terakhir terjadi bukan 400 tahun lalu);
  • Jika kecepatan pengumpulan energi selama 400 tahun terakhir adalah dianggap sama dengan pengumpulan energi hasil pengukuran dengan perangkat GPS (Global Positioning System) selama beberapa tahun terakhir (karena bisa saja kecepatan pengumpulan energi ini berubah-ubah dari waktu ke waktu);
  • Jika energi yang dikumpulkan selama 400 tahun itu tiba-tiba dilepaskan saat ini; (karena bisa saja bukan saat ini dilepaskannya);
  • Jika gempa itu mengakibatkan deformasi (penyembulan) lantai samudera dengan volume tertentu sehingga air laut sebesar volume itu terdesak ke daratan (karena dimensi penyembulan hanya bersifat kira-kira saja);
  • Jika batimetri dasar laut sepanjang selatan jawa memang kondisinya seperti yang digunakan untuk menghitung pemindahan volume air laut itu (karena kita tidak memiliki data batimetri detil saat ini);
  • Maka akan ada tsunami 20 meter pada saat gelombang tsunami mencapai pantai, ingat 20 m itu di pantai bukan di daratan (karena Ketika masuk daratan energi dan kecepatan gelombang akan menurun sehingga tinggi dan kecepatan gelombang tsunami juga menurun)
Kalau salah satu dari keenam “jika” di atas salah (apalagi kalau lebih dari satu) maka angka 20 meter itu akan otomatis salah. Makanya, jika yang membuat model tsunami adalah orang yang berbeda maka akan dihasilkan ketinggian tsunami di pantai yang berbeda pula karena mereka menggunakan seperangkat “jika-jika” yang berbeda pula. Maka wajar jika sebelumnya seorang peneliti yang menghitung ancaman tsunami tsunami di selatan jawa menghasilkan angka ketinggian yang berbeda pula. Yang perlu diketahui oleh masyarakat bahwa sains dibangun setidaknya di atas dua pondasi utama yaitu asumsi (seperangkat “jika-jika” itu) dan kualitas data (yang sangat tergantung pada metode pengambilan data yang digunakan). Maka cara “menggugurkan” kebenaran sains adalah dengan membuktikan
bahwa “jika -jika” yang digunakan tidak valid, dan/atau dengan mengoperasikan metode baru dalam pengambilan data sehingga menghasilkan data yang lebih detil.
Ada kejadian menarik beberapa tahun lalu di kota Padang saat diadakan workshop/seminar terkait ancaman tsunami di kota Padang. Pemerintah kota Padang kebingungan harus milih yang mana, karena 5 kelompok ahli yang hadir dalam workshop itu mengeluarkan 5 buah model rendaman tsunami yang berbeda-beda.
Kalau kita memang ingin mengurangi risiko bencana tsunami maka aspek penting pertama yang harus dikelola adalah tata ruang wilayah pantai. Kita mestinya bisa belajar dari kasus tsunami selat sunda 2018 dan palu 2018. Kedua tsunami ini terhitung tsunami kecil yang inundasi gelombangnya hanya mencapai sekitar 200 meter dari garis pantai. Jika aturan sempadan pantai dipatuhi, maka seharusnya tidak perlu jatuh korban jiwa atau setidaknya korban jiwa dan kerugiannya akan bisa diminimalkan. Oleh karena itu, melakukan analisis risiko tsunami secara mendetil menjadi salah satu kunci yang perlu dilakukan untuk digunakan sebagai dasar dalam manajemen tata ruang wilayah pantai. Meskipun seringkali diklaim bahwa peta risiko tsunami itu sudah ada tapi baik kualitas data maupun skala petanya sangat tidak memadai untuk digunakan sebagai basis bagi mitigasi risiko tsunami secara umum maupun basis tata ruang secara khusus. Dalam hal tata ruang wilayah pantai ini kita bisa belajar dari yang dilakukan oleh pemerintah2 daerah di jepang yang terlanda tsunami 2011. Setelah 2011, wilayah2 yang terlanda tsunami Risiko tidak boleh dihuni lagi atau boleh dihuni dengan persyaratan sangat ketat. Strategi ini akan sangat baik jika kita adopsi tentunya setelah mempertimbangkan faktor2 lokal. Mengingat golden time yaitu selisih waktu antara gempa hingga tsunami mencapai daratan di wilayah Indonesia relatif pendek (banyak yang kurang dari 10 menit). Sementara tsunami bisa terjadi dalam kondisi terburuk misalnya malam hari, hujan dalam kepadatan lalin orang yang mengevakuasi diri. Maka menyediakan shelter/tempat evakuasi sementara tsunami menjadi penting. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, shelter ini tidak harus dibangun secara khusus namun bisa dengan memfungsigandakan bangunan-bangunan yang sudah ada jika kondisi darurat terjadi. Tentunya bangunan-bangunan yang ditetapkan sebagai shelter pada saat kondisi darurat juga sudah diuji kelayakan dan kekuatan bangunannya. Kepada masyarakat harus ditanamkan kesadaran dan pengetahuan pentingnya evakuasi mandiri yang menjadikan guncangan gempa (khususnya gempa yang kuat guncangannya dan/atau gempa yang lama guncangannya) sebagai peringatan dininya dan tanpa harus bergantung pada sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS). Hal ini karena berbagai hal dapat mengganggu efektivitas InaTEWS. Misalnya, guncangan gempa boleh jadi merusak berbagai sarpras InaTEWS termasuk pasokan listrik sehingga InaTEWS menjadi tidak berfungsi. Bencana sangat erat kaitannya dengan attitude/perilaku manusia. Teknologi/Sistem Peringatan Dini hanyalah alat bantu yang tidak terlalu membantu jika perilaku manusianya tidak bisa tertib dan semaunya sendiri.
Liked it? Take a second to support Dongeng Geologi on Patreon!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here