Jika saat ini sebagian orang masih mempertanyakan apakah dentuman berasal dari letusan Anak Krakatau atau bukan, sebenarnya ada yang lebih perlu diwaspadai daripada itu, yaitu apakah ada potensi terulangnya kembali tsunami Selat Sunda serupa dengan yang terjadi lebih dari setahun silam. Karena pasalnya, aktivitas vulkanisme di kawasan ini terbilang sangat aktif.
Lahirnya Anak Krakatau
Krakatau pernah meletus sangat dahsyat pada tahun 1883. Erupsi ini diikuti oleh tsunami yang mengakibatkan meninggalnya banyak korban, mencapai 120 ribu jiwa, lebih dari jumlah korban meninggal karena covid-19 per hari ini. Setelah meletus dahsyat, selama berdekade Krakatau tak menunjukkan aktivitasnya. Krakatau rehat untuk kembali mengakumulasi energi, setelah kelelahan melepaskan tenaganya yang begitu besar. Baru kemudian pada tahun 1929, gunung mungil yang dinamai Anak Krakatau muncul ke permukaan. Sejak itulah Anak Krakatau mengalami erupsi demi erupsi, hingga erupsi yang kemaren terjadi (11/ 04).
cerita selengkapnya : Gunung Anak Krakatau kembali seperti tahun 1950-an
Letusan kali ini melontarkan kolom erupsi dengan tinggi 1500 meter, berdasarkan citra satelit VAAC. Menurut paklek Ma’rufin Sudibyo, jika diestimasikan berdasarkan hitungan kasar yang mengacu erupsi freatik / debu Merapi 2013 – 2018. Jika puncak debu letusan setinggi 15 km, maka puncak kolom letusan (anggaplah) 13 kmdpl. Erupsinya memuntahkan ~2.700 m³ / detik. Ini hanya estimasi, namun ini menunjukan angka yg cukup besar. Artinya, aktivitas vulkanisme Anak Krakatau sangat intens dan tubuh gunungapi tumbuh dengan cepat.
Tsunami 2018
Dengan tipe strombolian, ataupun surtseyan, erupsi Anak Krakatau tidak berbahaya. Apalagi di kawasan ini sangat minim aktivitas manusia dan tidak ada infrastruktur apapun, kecuali untuk keperluan pariwisata dan pemantauan. Namun sayangnya, karena lokasinya yang berada di tengah perairan, menimbulkan adanya kemungkinan bencana ikutan tsunami, seperti yang terjadi pada akhir tahun 2018 silam. Tak kurang dari 437 jiwa menjadi korban. Tsunami ini dipicu oleh longsoran tubuh Anak Krakatau, setelah berulang kali erupsi. Erupsi menimbun material baru yang menambah beban tubuh gunungapi sehingga lereng menjadi tidak stabil. Sisi barat Anak Krakatau luruh. Luruhan yang masuk ke tubuh air menimbulkan gelombang tsunami.
cerita selengkapnya : Anak Krakatau picu Tsunami Anyer
Tumbuh Sangat Pesat Pasca Longsor
Setelah peristiwa tsunami Selat Sunda yang meluruhkan hampir seluruh sisi bagian barat tubuh gunungapi yang muncul di permukaan, Anak Krakatau masih terus mengalami erupsi. Menariknya, erupsi terjadi sangat intens yang menyebabkan, dalam beberapa hari saja, tubuh gunungapi di bagian barat mulai terbentuk kembali. Kenampakan ini terekam dalam citra satelit, 5 hari setelah peristiwa longsor terjadi. Masih terdapat keraguan apakah citra yang dihasilkan merupakan gambaran akumulasi material hasil erupsi atau disebabkan karena citra tertutup oleh hembusan abu dan uap air (steam).
cerita selengkapnya : Teka – teki Gunung Anak Krakatau
Namun, interpretasi ini ternyata terkonfirmasi dalam penelitian yang dipublikasikan baru baru ini oleh Paklek Mirzam Abdurrachman, Dosen Teknik Geologi, ITB bersama para peneliti dari negeri Britania Raya dengan judul “Mapping Recent Shoreline Changes Spanning the Lateral Collapse of Anak Krakatau Volcano, Indonesia”.
Dalam ulasannya, setelah peristiwa longsor, Anak Krakatau mengalami pertumbuhan yang cepat. Proses ini disebutkan sebagai fase rapid post-collapse regrowth, artinya tumbuh kembali dengan cepat paska longsor, yang meski dalam penelitian ini data luasan Anak Krakatau pada bulan Desember tidak dapat terekam karena keterdapatan awan uap air yang dihasilkan selama proses erupsi. Namun pada 13 Januari 2020, ketika data mulai terekam, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi lonjakan luasan Anak Krakatau yang sangat significant. Penambahan terjadi akibat proses erupsi yang terjadi setelah peristiwa longsor. Luasan Anak Krakatau yang kurang dari 2,9 km2 dan setelah longsor hanya menyisakan 1,5 km2, tumbuh meluas menjadi 3,2 km2 hanya dalam jangka waktu 3 pekan.
🙁 Berarti yang hilang tak lebih luas dari material yang muncul kemudian ya bulek..
🙂 Jadi kalau kita lagi jatuh, momentum untuk bangkit harus jauh lebih besar.. kayak anak krakatau ini..
Luasan Anak Krakatau beberapa hari setelah longsor sebenarnya tidak terekam dalam penelitian ini, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, namun angka tersebut merupakan asumsi yang berdasarkan pada hasil penelitian oleh Grilli, dkk. (2019) yang menyatakan bahwa longsor 2018 meluruhkan setidaknya 49% dari total volume pulau.
Transformasi Anak Krakatau
Peristiwa longsoran dan erupsi pada bulan Desember 2018 tentunya mengubah bentuk morfologi termasuk garis pantai Anak Krakatau. Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan Paklek Mirzam, perubahan terjadi terutama pada sisi barat daya dan timur laut, disebabkan oleh penambahan material yang dihasilkan ketika erupsi terjadi. Yang paling kentara, selain dari garis pantai adalah kemunculan danau kawah yang sebelumnya tak terbentuk. Luasan danau kawah juga mengalami perubahan seiring dengan waktu. Karena sistem kawah terbuka, artinya ketika air laut dan air kawah saling terhubung, terjadilah penambahan air oleh aliran air laut yang masuk ke kawah ketika air pada kawah berkurang karena proses evaporasi akibat aktivitas pemanasan di kawah. Maka, volume air tidak berpengaruh terhadap dinamika luasan danau kawah. Oleh karena itu, perubahan luasan danau kawah murni terjadi karena perubahan dasar danau yang terisi akibat pengendapan material hasil proses erosi dinding kawah atau proses penurunan maupun pengangkatan yang terjadi pada tubuh Anak Krakatau.
Akankah Tsunami 2018 Terulang Kembali?
Perubahan dan pertumbuhan Anak Krakatau menjadi perhatian penting. Pasalnya Anak Krakatau berdiri di tepian cekungan kaldera 1883, sehingga sisi bagian barat dibatasi oleh lereng yang terjal. Lereng terjal secara alamiah dapat memicu peristiwa longsor. Ingat bagaimana prinsip sudut kritis?
Jika asumsi penyebab longsor murni karena gaya gravitasi, maka penambahan volume tubuh gunung api menjadi acuan penting apakah longsor akan kembali terjadi. Longsor lebih berbahaya dari pada letusan itu sendiri. Karena longsorlah yang memicu tsunami yang akan berdampak pada banyak kawasan yang berada di tepian Selat Sunda.
Maka, apakah peristiwa 2018 akan terulang? Jika melihat kondisi saat ini, belum. Semoga tidak. Saat ini Anak Krakatau masih pada fase membangun tubuhnya kembali. Pelamparan yang meluas dengan lereng yang relatif landai menguntungkan posisi Anak Krakatau sehingga kecil kemungkinan longsoran secara masif terjadi. Namun, interpretasi ini hanya didasarkan pada kenampakan di permukaan, baik berdasarkan foto yg diambil tahun 2019 lalu oleh bapak ibu di pos pemantauan, ataupun peta yang dibuat oleh Paklek Herlan Darmawan dari tim peneliti vulkanologi UGM. Jika ketinggian dan kemiringan lereng dibandingkan dengan kondisi sebelum tsunami 2018 terjadi, maka potensi terjadinya tsunami masih begitu kecil. Benar saja, pada letusan 10 April lalu, berdasarkan monitoring tide gauge di selat sunda, tidak ada gelombang tinggi yang terekam, maka erupsi kali ini tidak memicu tsunami.
Beruntungnya lagi, pasca peristiwa longsor 2018, lereng di sisi timur kaldera yang berada di sebelah barat Anak Krakatau tak seterjal sebelumnya akibat dari timbunan material longsoran.
Memprediksi Tsunami
Namun meski demikan, seiring waktu, dengan tumbuhnya tubuh Anak Krakatau, tidak melepas kemungkinan adanya potensi tsunami seperti yang terjadi lebih dari setahun yang lalu. Apa yang bisa dilakukan? Penelitian dan Pemantauan. Bahkan sebenarnya, peristiwa tsunami 2018 sudah pernah diprediksi sebelumnya oleh Giachetti, dkk. Pemodelan longsor dan tsunami dibuat pada tahun 2012, 6 tahun sebelum tsunami terjadi. Maka, penelitian dan pemantauan mengenai dinamika Anak Krakatau kali ini pun sangat perlu dilakukan untuk memodelkan mekanisme potensi bahaya erupsi dan tsunami, karena dengan bentukan yang berbeda dari sebelumnya, tentu akan memiliki karakteristik kerentanan pergerakan masa yang berbeda pula.
cerita selengkapnya : Longsoran Anak Krakatau sudah diprediksi sebelumnya
🙁 Pengaruhnya apa perubahan bentuk dari Anak Krakatau ini?
Mengutip pesan Pakde Rovicky bertahun lalu, memahami perubahan yang sangat cepat ini menambah informasi kita tentang bagaimana tsunami terbentuk. Apa yang menjadi pemicu utamanya. Nah dengan pemahaman pemicu tsunami ini kita akan mampu membuat EWS, yang sesuai dengan genesa terbentuknya. Kalau longsor hanya dengan getaran kecil mampu membuat longsor yang menimbulkan tsunami, maka potensi longsoran perlu dimonitor detil. Kalau letusan besar menyebabkan longsoran, maka perlu monitor magma, perilaku magma, dan juga geomagma, tipe, kimiawinya, trend perubahannya, dan sebagainya.
Jadi, memahami karakteristik gunung api di tengah laut untuk mengetahui bagaimana terbentuknya tsunami ini menjadi sangat penting.
🙁 Indonesia kan punya banyak gunung api, apa cuma Anak Krakatau yang bisa menimbulkan tsunami?
🙂 Ada banyak thole, banyak kan PR nya..