Tektonik Maluku
Peristiwa gempa bumi yang beberapa kali terjadi di Maluku belakangan ini merupakan konsekuensi dari tatanan lempeng lempeng di Indonesia Timur yang sedemikian ruwetnya. Kompleksitas inilah yang kemudian mengundang rasa penasaran para saintis Indonesia maupun mancanegara, salah satu diantaranya adalah seorang ahli tektonika dari Royal Holloway University of London, Robert Hall.

Tujuan penelitian Pakde Robert salah satunya adalah mengetahui bagaimana tatanan tektonik Indonesia dari waktu ke waktu. Secara umum, tatanan tektonik Indonesia Timur terbentuk dari pecahan lempeng – lempeng dari Australia yang bergerak ke utara merangsek sisi tenggara Lempeng Eurasia. Kemudian, pecahan – pecahan lempeng tersebut menukik kearah barat karena dorongan dari Lempeng Samudera Pasifik di sisi timur. Hingga terbentuklah jajaran kepulauan Sulawesi, Papua, juga Nusa Tenggara yang di dominasi oleh kawasan tumbukan dan penujaman. Sebagai konsekuensinya, area ini merupakan kawasan dengan aktivitas seismik tinggi yang terepresentasikan sebagai peristiwa berulangnya bencana gempa bumi.
🙁 Kok bisa tau kalau bentuknya dulu kayak gitu, waah Pakde Robert bisa nerawang masa lalu.. kalau nerawang masa depan aku sama dia bisa ngga ya bulek.. kayaknya lebih ruwet dari tektonik Indonesia Timur
Cara Merekonstruksi Wajah Bumi
Konsep yang dihasilkan Pakde Robert, yang didasarkan pada teori tektonik lempeng, merupakan perkembangan dari teori – teori yang telah muncul sebelumnya. Salah satu diantaranya adalah teori continental drift, yang dikemukakan oleh seorang ahli meteorolgi berkebangsaan Jerman, Alfred Wagener, bahwa benua – benua sesungguhnya mengalami pergerakan. Teori ini pun bukan sesuatu yang baru kala itu. Pada abad – abad sebelumnya telah banyak saintis yang memperdebatkan hipotesa tersebut.

Hanyasaja, kala itu Alfred Wagener menambahkan bukti – bukti baru, dan salah satunya teori barunya memaparkan bahwa benua pernah menjadi satu benua raksasa, yang dinamai Pangea (gambar paling atas). Alfred berhasil menggabungkan pecahan – pecahan benua menjadi satu, layaknya menyusun puzzle.
Menariknya, 14 abad yang lalu, jauh sebelum semua teori ini muncul telah tercantum keterangan dari salah satu ayat pada Kitab Al-Qur’an, Surah An-Naml: 88 yang mengisyarakatkan adanya dinamika dari pergerakan lempeng lempeng ini.
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,”
🙁 Wah, kalam Tuhan Yang Menciptakan alam semesta memang sebuah niscaya yaa bulek
Eh tapi, kalau continental drift itu kan nyocok-nyocokin kesamaan batuan, kondisi iklim, dan terutama garis tepian benuanya yang bisa diamati dari permukaan… Lha di Indonesia Timur kan ngga match gituu, terus ngrekonstruksinya gimana?
🙂 Indonesia Timur itu kan ada yang mencuat dari ngga ada bim salabim jadinya ada, ada juga yang ndlesep dari ada jadi ilang.. ya susah kalau cuma dari kenampakan di permukaannya.
Tomografi Seismik : Mengintip bawah permukaan bumi
Ilmu pengetahuan sangat dinamis dan akan berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Jika dahulu Pakde Wagener mencoba merekonstruksikan kondisi bumi di masa lampau berdasarkan kenampakan yang ada di permukaan, maka Pakde Robert 4 tahun lalu, mampu merekonstruksi secara lebih detail dengan mengintip kondisi di bawah permukaan atau subsurface menggunakan data tomografi seismik.
Lempeng yang telah menunjam dan berada pada mantel ternyata menghasilkan anomali suhu yang besar. Nah, anomali ini yang kemudian dapat dideteksi menggunakan tomografi seismik dengan resolusi tinggi, terutama di kawasan tektonik aktif, seperti Indonesia. Dari pengukuran tersebut nantinya diperoleh penampang seperti di bawah ini, yang menggambarkan anomali pada 6 lapisan kedalaman yang berbeda – beda untuk kemudian dimodelkan secara 3D.

Dari penampang tersebut dapat diketahui posisi dan bentuk (morfologi) lempeng telah menunjam dan berada di mantel. Selain data tomografi seismik diperlukan pula data kinematik seperti pengukuran GPS untuk mengetahui kecepatan relatif dari penunjaman lempeng. Dengan mengkombinasikan dimensi dan kecepatannya, maka dapat diperkirakan kapan proses penunjaman lempeng tersebut terjadi.

Pada kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia memiliki kecepatan pergerakan lempeng yang tinggi berkisar 5 – 10 cm / tahun. Maka, secara regional dengan mengamati kenampakan pada tomografi seismik yang diukur pada kedalam 660 km dan mengetahui kecepatan penunjamannya dapat disimpulkan bahwa penunjaman terjadi pada kisaran 10 – 25 juta tahun yang lalu, bergantung pada kecepatan penunjaman yang beragam secara lokal.
🙂 ibarat kertas yang sudah diremas, untuk tahu seperti apa bentuk muasalnya perlu dibentangkan kembali kertas yang sudah terlipat – lipat. Begitulah cara merekonstruksi, menilik seperti apa kondisi di masa lalu..