Tidak bisa dipungkiri bahwa goyangan gempa telah meretakkan tandon air-pendingin yg terkontaminasi radioaktif. Gempa dengan magnitude 6.8 itu menyebabkan likuifaksi yg menyebabkan amblesnya trafo yang akhirnya terbakar dan juga getarannya membuat bangunan retak-retak. Bahkan Reaktor itu harus shutdown atau stop operasi .
Berita diatas bukan mengada-ada
Diskusiku kemarin malam dengan Dr Irwan Meilano (Dosen ITB yang sedang di Nagoya, Jepun) mungkin menarik untuk disimak. Apakah kemampuan shutdown dengan aman itu berarti PLTN gagal atau sukses ? Silahkan anda sendiri menilai apakah gempa itu membuktikan kegagalan PLTN atau justru bagus sebagai ujian PLTN.
10:22 PM
Irwan Meilano: Pak Rovicky mohon maaf kemarin saya seharian pergi keluar kota tapi gmail dirumah di aktifkan saya setuju pak gempa nya terletak di benioff zone
- Rovicky: wah ga papa, wooo aku pikir pakai black berry jadi on terus 🙂
- IM: 🙂 engga pak belum mampu punya black berry 🙂
- R: eh kalo gitu peta yang dipakai disitir harus dikoreksi ya ? soale aku awalnya juga pakai peta yg disitir pak awang 🙂 yang katanya di utara jawa sudah 600 km 😛
btw crita PLTN di jepun itu gimana ? - IM: saya setuju pak mengenai cerita pltn itu seru yah 🙂 secara teknis kerusakan akibat gempa hanya minor saja. Ada 2 masalah serius tapi lebih dari kerusakan kecil yg ke dua masalah itu yaitu
1. kebakaran transformer di luar reaktor nomor 3 akibar likuifaksi
2. bocornya air pendingin ampas radio aktif akibat ground shaking
tetapi masalah ke -1 itu membuat implikasi yg agak serius - R: ada radioaktif leak ?
- I: yg menunjukan bahwa mereka tdk memiliki sistem pemadaman api yg baik karena api baru bisa dipadamkan sesudah 2 jam radioaktif leak ..ada. ternyata ada bagian yg dibuang kelaut.. tapi kadarnya sangat kecil yaitu bagian air pendingin radio aktif
- R: tapi kebocoran bukan karena gempa ?
- I: kemudian di udara ternyata ditemukan juga zat radioaktif iyah akibat tumpahnya air pendingin akibat groundshaking
- R: ok
- I: sebetulnya sekarang masalah yg lebih fundamental yaitu pada survey aktif fault nya pada penyiapan lahan awal untuk PTLN baru diketahui sesudah gempa
- R: PLTNnya sendiri masih kategori “aman” ?
- I: bahwa terdapat sesar aktif tepat dibawah gempa. Sekarang pltn di tutup sepenuhnya
- R: karena travonya atau takut gempa lagi ?
- I: karena menunggu aftershocknya semakin kecil kemudian banyak cracking juga pada bangunan
- R: whaddduh …. wah uji tapak PLTN ini sangat krusial jadinya ya
- I: betul pak…. pltn tersebut reaktor pertamanya dibuat thn 1985 yah saat itu mereka hanya mengestimasi kemungkinan gempa M6.5 pada jarak 60 km sehingga intensitasnya dibawah 5 pada skala jepang
- R: kalau reaktor2 PLTN lain di Jepang beda tipe dan konstruksi ?
- I: sebetulnya aturan baru untuk survey tapak itu dibuat bln september 2006 jadi reaktor yg lain di jepang pun kondisinya sama itu yg menjadi kekhawatiran sekarang
- R: ya wajar kalau gitu. Aku ini ngga anti PLTN banget2, tapi untuk diversifikasi kita perlu jenis2 lain sumber energi sebagai cadangan dan pembelajaran saja …
- I: saya pun sama pak kalo memang ptln adalah alternatif terbaik yah mau engga mau harus jalan tapi yg saya khawatir kita terlalu optimis
- R: kalau melihat persiapan hingga kini ya iya lah mesti harus jalan, jangan membuang investasi yg sudah di tanam
- I: betul juga yah..
- R: wong hanya memenuhi 5% kebutuhan energi kok
- I: saya dengar thailand sudah mulai dgn pltn nya begitu pula dengan malaysia
- R: Pilipina juga sudah, tapi karena mereka ga punya sumber lain
I: pelajaran yg menurut saya penting dari gempa kemarin yaitu
1. trenching survey itu melihat paleoseismology itu suatu keharusan
2. survey kontinu GPS untuk melihat state of strain dalam waktu yg panjang- R: data sesmik detil baru ada sejak 1960 padahal gepa diatas 6 biasanya siklusnya 100 tahunan ya ?
- I: betul pak mau engga mau kita harus dengan trenching PM aturan jepang sebetulnya harus berusaha melihat bukti dari paleoseismology sampai 50 ribu tahun pak
- R: trenching itu seperti yang dilakukan dany pada koral gitu ?
- I: agak berbeda pak kalo disini biasanya dengan bantuan mobil pengeruk melintang pada bidang sesar sampai kedalaman kira 10-25 meter kemudian dilihat bukti2 yg terkait dengan gempa, seperti likuifaksi atau slip.
- R: oooh uji parit gitu kah ?
- I: Betul pak untuk kemudian di dating sehingga bisa terlihat siklus gempanya
R: yap … yap ngerti aku … menarik sekali tetapi berapa lama itu dikerjakan ?
🙁 “Pakdhe trenching itu apaan sih , Pakdhe ?”
:D” Trenching itu membuat parit, kemudian dilihat adakah jejak-jejak terjadinya gempa. Kemudian dilakukan dating (pengukuran umurnya), Sehingga dapat diketahui kira-kira kapan terjadinya gempa dimasa lalu”Contoh gambar trenching ada disebelah ini. Paling atas itu menunjukkan parit dengan lebar satu meter yang dibuat memotong patahan yang diperkirakan aktif. Gambar A menunjukkan kondisi awal, B ketika ada gempa maka ada endapan baru, gambar C menunjukkan gempa selanjutnya. Paling bawah itu menunjukkan umur-umur dari masing-masing batuan sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya gerakan pada patahan ini, yang mungkin diikuti oleh getaran gempa.
- I: saya hanya pernah ikut sekali waktu itu sekitar 10 hari survey tapi yg repot kayanya sesudah itu
- R: ya kayaknya perlu uji laboratorium utk dating karbon juga
I: betul pak dating itu yg repot. Ngomong2 untuk Muria itu sudah sampai tahap mana ya?
- R: setahuku uji tapaknya sudah ditetapkan bahkan sudah direncanakan dibangun sesuai Kebijakan Energi Nasional
- I: berarti sudah oke hasil pengujian tapaknya ?
- R: uji tapaknya kan sebelum gempa aceh dan gempa jogja
- I: wah… sudah lama sekali ya?
- R: mnurutku masih harus dikerjakan terus (berulang)
- I: pak danny kelihatan aktif menentang rencana ini ya 🙂
- R: paling tidak learning dari jepang itu sangat harus dimengerti semuanya. Aku malah ga ngerti sikap Danny soal PLTN ini. Hampir semua geocientist akan ketar-ketir dengan gempa, karena akan dituding paling duluan kalau terjadi apa-apa 🙂
I: betul pak 🙂 saya baca beberapa berita di koran mengenai kekhawatiran pak danny akan sesar lasem yg jaraknya 60 km
- R: historisnya sih di sekitar G Muria aman-aman saja. Tapi kalau malah justru terjadi penumpukan tenaga kan gawat … mungkin survey GPS bisa membantu
- I: saya dengar memang untuk salah satu lokasi di sekitar jepang utara sekarang sedang dilakukan survey gps selama 1 thn kontinu ntuk melihat kondisi strain-nya sebetulnya ada pelajaran lain yaitu yaitu gempa Noto M6.9 bln maret thn ini sewaktu survey tapak telah di identifikasi 3 sesar kecil yg panjangnya tdk lebih dari 15 km tetapi pada saat gempa Noto ke 3 sesar tsb slip pada waktu bersamaan dan menghasilkan gempa M6.9 dan itu dekat sekali dengan lokasi PLTN. tapi untungnya semua reaktornya sedang dimatikan untuk perbaikan
🙁 “Pssst Pakdhe survey GPS ini yang gimana sih ?”
🙂 ” Looh kan pernah dijelasin klik disini tole. Makanya baca-baca tulisan yang lama jangan sampai lupa ?”
🙁 “Lah mbok buku dongengnya dibuat to Pakdhe, biar ngga harus akses ke warnet terus-terusan ”
- R: wah 6,9 besar sekali kalau akiba sesar dipermukaan 🙁 berarti displacemennya gede ?
- I: besar sekali pak.. dan 1 orang jadi korbang
- R: Ok thanks banget infonya ttg PLTN jepang. Diskusinya aku pakai di dongengan ya ?
- I: sip pak oh iyah mungkin sebagai informasi tambahan
R: aku minta fotomu donk, untuk melengkapi cerita dongeng
- I: reaktor tsb dibuat dengan kemampuan menahan gempa dgn intensitas 6 (dlm skala jepang) 🙂 atau akselerasi sampai kira2 350 gal tetapi dari alat yg ada dekat reaktor akselerasinya sampa 600 gal
- R: kok attenuasinya enh gitu ? ada akselerasi ya ?
- I: betul mas dari akselerometer
- R: apakah setiap PLTN dipasangi Seismometer ? dipakai utk sistem shutdown otomatis ?
- I: betul mas dan sebetulnya gempa kemarin itu adalah bukti bahwa sistem mereka berhasil dengan baik padalah jarak antara P wave dengan gelombang lainnya (S) dan surface wave begitu pendek tapi sistemnya berjalan dengan baik sehignga 3 reaktor yg sedang bekerja dan 1 yg sedang warming up akan bekerja bisa dimatikan seketika
- R: wah kalau jarak episenternya deket ya tentunya P dan S nya deket banget … hnya sekian detik ya ?
- I: betul mas tapi episenternya memang 20 km ke utara tapi rupture areanya memang melalui bagian bawah dari reaktor jadi first wavenya memang agak perlu waktu beberapa detik mengenai photo ada di kumputer lain 🙂
11:08 PM
Memang kalau diperhatikan bahwa Jepang dahulu merencanakan PLTN pertama ini untuk menahan kekuatan goyangan gempa dengan akselerasi sebesar 350 gal. namun ternyata goyangan gempa yang terjadi sebesar 600gal. berarti sistem yang dilakukan disana cukup bagus bahwa PLTN tersebut mampu menahan goyangan jauuh diatas besaran goyangan yang diperkirakan. Ditutupnya PLTN adalah karena diketahui adanya patahan melewati bawah reaktor dan juga karena saat ini ada persyaratan baru dalam membangun reaktor.
🙁 “Looh Pakdhe Bearti ini kisah sukses perencanaan PLTN di Jepang donk ?”
🙂 “Bisa jadi begitu thole”
🙁 “Iya tapi yang gagal geoscientisnya yang salah meramalkan kekuatan gempa yang ternyata hampir duakali lipat besaran goyangannya. Geologistnya payah tuh dhe”
🙂 ” Hust !!!”
- R: Ok thanks … kayaknya aku pernah punya fotomu wektu survey gempa di
jogjaAceh 🙂 kok blogmu ga bisa diakses lagi ya ? - I: bisa lagi sejak minggu lalu 🙂
- R: waah pantes 😛 alamate brubah ?
- I: engga mas atau berubah yah 🙂 saya coba cek dulu. masih ok mas 🙂
11:14 PM
- R: Ok deh thanks udah jam sebelas disini, besok ngantor. thanks info2nya ya
- I: sama-sama pak
- R: cu
Jadi PLTN Jepang ini gagal atau berhasil ? Aku hanya bisa menyampaikan saja pandangan dari seorang ilmuwan seperti Irwan. Silahkan dinilai sendiri. Aku hanya berpikir dalam PLTN ini bukan kondisi “reaktor” karena gempa yang perlu dikhawatirkan. Justru yang lain sering terlupa dan terlewatkan.
“Aku lebih suka menjadi murid yang belajar,
ketimbang menjadi guru yang menilai”, rdp
Sumber gambar AsociatePress, Swiss Seismological services
saya sedang ada tugas fisika disekolah saya untunk membuat persentasi tentang reaktor radioisotop. tapi saya bingung harus dimana saya mendapatkan data”nya karna saya tidak punya referensi yang datanya berupa flash atau animasi dan sejenisnya. apa bpk bs bantu saya dimana saya bisa mendapatkan data tersebut. THX.
Ini posting yang bagus sekali; demikian juga komentar-komentarnya. Memang semua PLTN di-desain agar begitu ada gangguan, walaupun kecil, harus bisa mematikan diri sendiri tanpa intervensi operator. Selanjutnya, pasokan listrik harus ada terus untuk memutar pompa air pendingin reaktor. Karena itu tiap PLTN paling kurang ada tiga cadangan generator diesel. Air pendingin reaktor harus bisa mengalir terus karena dengan matinya reaktor, zat radioaktif yang hasil-belahan fisi uranium dan plutonium akan terus dipancarkan dan terus memanasi batang bahan bakar.
Sati komentar terhadap komentar ekonom yang menanyakan masa manfaat PLTN. Sekarang ini sudah 40 lebih PLTN di Amerika erikat yang mendapat izin operasi 60 tahun, yang semula izinnya hanya 40 tahun. Diperkirakan semua PLTN di Amerika Serikat yang jumlahnya 104 akan memperoleh perpanjangan izin operasi 60 tahun. Jadi apa sih artinya penghentian operasi selama satu atau dua tahun ? Masih bisa dioperasikan lebih dari 50 tahun lagi ! Di sinilah keuntungan sebenarnya PLTN.
cool
Kalo PLTN digantikan ads gimana pak? terus apa sih bedanya ADS dengan PLTN kalo sama – sama pake nuklir sebagai bahan bakar
Terimakasih banyak mau berbagi sharing. Kebetulan minggu ini baru ada debat seputar kontroveri pembangunan PLTN di kuliah fisika inti.semoga materi diskusi ini bisa jadi wacana untuk mengambil sikap yang terbaik bagi seorang fisikawan dalam menyikapi rencana pembangunan PLTN d Indonesia
saat ini masyarakat indonesia masih belum dapat menerima PLTN karena masih sangat sedikit sekali yang mengerti tentang manfaat dan bahaya teknologi nuklir. “mereka” mengkhawatirkwn hal yang tidak perlu karena untuk urusan aplikasi teknologi nuklir sendiri sudah ada lembaga yang menanganinya sendiri. bsgaimana negara ini maju jika tidak percaya terhadap kemampuan anak bangsa…. jangan2 “mereka” mempunyai tendensi tertentu untuk menghambat kemajuan teknologi di indonesia…..
BTW NuClEAr 4 peace bro……
Apakah data yang dipaparkan pak Ma’rufin pro atau
kontra PLTN, pembaca akan nilai sendiri.
Tapi seperti biasanya, penyajian pak Ma’rufin selalu profi.
Tenaga Nuklir memiliki resiko yang sangat besar. Jika kita berani mencoba maka harus dengan perhitungan yang sangat matang termasuk memperhitungkan SDM yang akan mengelolanya, memperhitungkan kemungkinan terkecilnya meski jika kemungkinannya hanya 0,01% akan terjadi.
Sekali gagal kita mungkin akan menyesalinya, bahkan mungkin kita sendiri tidak akan dapat kesempatan untuk menyesalinya…
Adek kecil,saya tertarik dengan komentar anda diatas. Bagaimana kalau kita tidak mencobanya tentu kita tidak tau bahwa sesuatu yang diperhitungkan itu akan gagal.
Sesuatu yang di luar perhitungan, secara ilmiah tidak bisa disebut sebagai suatu keberhasilan. Bagaimana bila gagal, apa yang akan terjadi? ini khan bukan main-main!
Kalau aq sih ngeliat keberhasilan Jepang dalam mengantisipasi efek gempa ini sangat baik. Justru tantangannya pada perkiraan kondisi geologi di lokasi itu. Kenyataan bahwa konstruksi reaktor terkena 3 kali kekuatan yg diperkirakan saja masih aman.
Sedikit tambahan gempa Chuetsu 16 Juli 2007 dan dampaknya pada PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Ditulis bukan oleh peneliti kebumian atau fisikawan atau wong mBATAN, saya cuman wong bioso dengan pengetahuan pendek, jadi kemungkinan khilafnya cukup besar.
Gempa Chuetsu terjadi pada 16 Juli 2007 pukul 23:18 Local Time. USGS (dalam revisi terakhir) menempatkan episentrumnya pada koordinat 37,57 LU 138,44 BT sejauh 19 km dari lokasi PLTN Kashiwazaki-Kariwa, dengan moment magnitude (Mw) 6,8. Dibanding gempa Yogya, gempa Chuetsu 3,2 kali lipat lebih energetik. Awalnya USGS menyebut hiposentrum gempa berada di kedalaman 350 km. Namun hal ini terasa janggal karena sulit dinalar jika sumber gempa sedalam itu – apalagi dengan magnitude ‘hanya’ 6,8 Mw – sanggup menghasilkan rupture di permukaan Bumi khususnya di area sekitar PLTN, lha wong Gempa Laut Jawa 9 Agustus 2007 kemarin yang 7,5 Mw saja dengan hiposentrum sedikit lebih dangkal (290 km) tidak memproduksi rupture apapun. Maka belakangan USGS dalam map2 analisisnya menyebut kedalaman sumber adalah 10 km, tidak berbeda dengan gempa Yogya.
Gempa ini melepaskan energi 240 kiloton TNT, setara dengan 12 butir bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima. Secara teoritik dengan mengambil analogi kejadian Gempa Yogya, Gempa Chuetsu dihasilkan oleh sesar seluas 30 x 20 km persegi yang terpatahkan turun (normal faulting) dan bergeser sejauh (rata-rata) 1,1 meter dari semula. Strike sesar 287 derajat, artinya sesar memiliki arah orientasi barat barat laut-timur tenggara. Sementara sudut dip sesar ini 45 derajat, yang berkorelasi dengan pergeseran vertikal sebesar 0,8 m. Maka secara teoritik gempa Chuetsu mampu membangkitkan tsunami dengan energi maksimum 0,093 kiloton TNT berdasarkan formula Carayannis, dengan tinggi maksimum tsunami 1 meter pada pantai terdekat (yang berjarak 19 km dari episentrum), merujuk pada formula Katsuyuki Abe. Tsunami memang terdeteksi dalam gempa ini, namun kecil (dengan tinggi hanya 20 cm) sehingga tidak berdampak apapun terhadap daerah pesisir. Kecilnya tsunami kemungkinan disebabkan oleh tidak terjadinya longsoran gigantik pada dasar laut di sekitar episentrum, atau karena sebagian sesarnya menjulur ke daratan sehingga volume kolom air laut yang terusik lebih kecil.
Sekarang kita lihat getarannya. Dari titik acuan di Kashiwazaki dan Tokyo (230 km dari episentrum), gempa Chuetsu memiliki koefisien atenuasi k = 0,0057. Maka secara teoritik dengan berbasis formula Gutenberg-Richter, episentrum menderita guncangan 9 MMI dengan peak ground acceleration (PGA) mencapai 96 % G (1 G = 9,81 m/detik kuadrat) sementara PLTN Kashiwazaki-Kariwa menerima guncangan 8 MMI dengan PGA 60 % G. Wikipedia menyebut reaktor unit 1 menderita PGA sebesar 70 % G – nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan perhitungan, dimana arah getarannya berorientasi barat-timur. Besar guncangan ini disebabkan karena sesar pembangkit gempa Chuetsu melintas di lokasi PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Bandingkan dengan reaktor Kartini (di Babarsari, Yogyakarta) yang masih berjarak 6 km terhadap garis sesar Opak meski juga menderita guncangan sebesar 8 MMI (MMI : Modified Mercalli Intensity).
Wikipedia menyebut PLTN Kashiwazaki-Kariwa dirancang guna menghadapi PGA maksimum sebesar 28 % G saja, yang berkorelasi dengan guncangan maksimum sebesar 7 MMI. Ketika gelombang primer gempa mulai datang di lokasi PLTN, sebagai konsekuensinya batuan setempat turut bergetar dan memunculkan ground response spectrum (GRS) yakni spektrum percepatan lokal pada beragam frekuensi sebagai respons dari guncangan gempa, yang besarannya bergantung kepada frekuensi osilasi batuan dasar setempat. Puncak kurva GRS dengan nilai terbesar berada pada frekuensi < 50 Hz (STUK, 2001). Pada PGA 70 % G dan dengan menganggap batuan dasar PLTN Kashiwazaki-Kariwa mirip dengan Finlandia, untuk damping ratio 5 % diperoleh GRS sampai 140 % G pada frekuensi 10 Hz. Jadi respon terhadap guncangan di lokasi PLTN memang melebihi percepatan maksimum yang bisa diterima dalam perancangannya.
Cukup mengesankan bahwa, meskipun guncangan di PLTN melebihi batas daya tahannya dan lokasi PLTN berdiri di atas sesar pembangkit gempa Chuetsu, ternyata sejauh ini tidak dijumpai adanya tanda2 kegagalan struktur di tiap unit reaktor. Padahal umumnya bangunan2 yang melintang terhadap garis sesar akan “terpotong” ketika sesar tersebut bergerak (lihat contohnya di http://neic.usgs.gov/neis/eq_depot/usa/1959_08_18_pics_1.html, untuk kasus sesar naik dalam Gempa Hebgen Lake, Montana, 18 Agustus 1959 dengan magnitude 7,3 Mw dan guncangan di sepanjang sesar mencapai 10 MMI).
Kebocoran utama pada PLTN ini berasal dari kolam penyimpanan bahan bakar bekas (spent fuel pool), yang berada di luar kubah reaktor dan secara teknis memang tidak dilindungi seketat reaktor karena hanya berisi limbah radioaktif cair dosis rendah. Terdapat 1,3 meter kubik air dari spent fuel pool yang mengalir ke Laut Jepang dengan aktivitas radiasi 106 ribu Becquerel. Angka ini masih sepermilyar kali lipat lebih kecil daripada ambang batas yang diperkenankan. Sebagai pembanding, cerobong asap sebuah PLTU berkapasitas 1.000 MWe yang telah dipasangi saringan sangat efisien (sehingga harga instalasinya menjadi sangat mahal) masih meloloskan 3 % radioisotop dengan aktivitas 1,11 milyar Becquerel atau lebih dari 10.000 lipat yang dibocorkan PLTN Kashiwazaki-Kariwa. Namun karena yang diloloskan adalah pemancar sinar alfa seperti Uranium dan Thorium yang sangat toksik, maka relatif terhadap radioisotop I-131 (si penebar maut dalam tragedi Chernobyl), cerobong asap PLTU tadi memancarkan aktivitas relatif 370 milyar Becquerel (Widagdo, 2007) atau lebih dari 3 juta kali lipat yang dibocorkan PLTN Kashiwazaki-Kariwa DAN selama ini tidak pernah diributkan. So, kuman di seberang lautan ditelisik terus, sampai2 gajah di pelupuk mata tak tampak….
Karena tidak ada kerusakan serius pada reaktor dan paparan radiasi ke lingkungan cukup kecil, kejadian di PLTN Kashiwazaki-Kariwa ditempatkan pada level 3 menurut skala INES (International Nuclear Event Scale), yang artinya PLTN masih berada dalam tingkat “insiden serius”, belum sampai ke tingkat “kecelakaan”. Begitupun IAEA (lewat El Baradei) sudah marah besar, terutama karena studi pendahuluan pra pembangunan PLTN yang tidak lengkap dalam hal histori seismik setempat dan keberadaan sesar2 tua yang berpotensi tereaktivasi.
salam
Ma’rufin
([email protected])
Rujukan :
IAEA. 2001. The International Nuclear Event Scale.
STUK. 2001. Seismic Events and Nuclear Power Plants, 3rd edition. Guide YVL 2.6, 19 Dec 2001.
USGS. 2007. Magnitude 6,8 Sea of Japan, 2007 July 16 14:17:37 UTC, http://earthquake.usgs.gov/eqcenter/eqinthenews/2007/us2007ewa8/
Widagdo. 2007. PLTN Tak Perburuk Lingkungan. SKH Suara Merdeka 16/07/2007 rubrik Wacana Lokal, hal. L.
Wikipedia. 2007. Kashiwazaki-Kariwa Nuclear Power Plant. http://en.wikipedia.org/wiki/Kashiwazaki-Kariwa_Nuclear_Power_Plant
hebat yah jepun sdh pasang auto shutdown yg bisa bereaksi bbrp detik saja sebelum gempa yg dirasakan. . . kalau ada rangkaian yg sederhana buat dipasang dirumah, boleh dong di share, tq.
Kalo saya sbg ekonom mikirnya gini Pak:
Dg kemungkinan idle-nya PLTN akibat kecelakaan (gempa, kebakaran, retak, dsb.. ada semua kasus tsb di Jepang), maka lifetime-nya PLTN itu ekonomis ngga sih?
Biaya2 termasuk contingency tampaknya bisa sangat tinggi. Nah, bagaimana pemerintah main claim saja bahwa PLTN pasti akan lebih ekonomis daripada PLT2 lainnya?
Jangan cuma membandingkan satu kilo uranium vs beberapa ton batu bara. Artinya jgn cuma pake biaya operasional, tapi perbandingan lifetime antar PLT sejak dari survey lokasi sampai penutupan, dan tentunya contingency plan.
Oya, setau saya PLTN Bataan di Filipina itu tidak pernah menghasilkan listrik 1 watt pun, tetapi membuat bunga utang sebesar $155 ribu dollar per hari sampai 30 tahun kemudian.
Seperti yang Pak Rovicky bilang, kalau PLTN Muria dibangun, hanya menyumbang 5% saja dari kebutuhan nasional. Dengan kemungkinan biaya yang tidak ekonomis. Mengapa kita tidak mencoba dari yang lebih “sederhana” semacam Geothermal?
Just my two-cent
Mohon maaf, insya Allah linknya akan jalan kalau tdk disertai tanda titik, spt dibawah.
http://headlines.yahoo.co.jp/hl?a=20070720-00000083-san-soci
Terima kasih pak, salam kenal, banyak ilmu yang saya dapatkan dari informasi di atas.
Tampaknya catatan seismic menunjukkan bahwa gempa di Niigata benar2 kuat sekali.
Kalau boleh, saya ingin menambahkan info dari news yahoo japan:
http://headlines.yahoo.co.jp/hl?a=20070720-00000083-san-soci.
PLTN no.1 menderita goyangan gempa sampai 680 Gal. PLTN no.2: 606 Gal, PLTN no.3: 384 Gal, PLTN no.4: 492 Gal, PLTN no.5: 442 Gal, PLTN no.6: 322 Gal, dan PLTN no.7: 356 Gal.
Padahal perencanaan pembangunan PLTN no.2 adalah mampu menahan gempa sampai 167 Gal, berarti kekuatan gempa telah 4X melebihi batas regulasi lokal.
MetNet