Mitos seputar bencana di negara-negara lain

8

Sangat beruntung aku bertemu dengan para ahli-ahli kebumian dunia yg berkecimpung dalam kebencanaan. Acara Simposium Kebumian diselenggarakan oleg Geologi UGM Jogja (2006) dengan Tema: Contribution of Earth Science and Engineering on Geohazard and Georesources Management Towards Sustainable Community Development.
Ada banyak catatan yg saya tulis nanti saya ceritakan dalam beberapa dongengan ya. Hanya saja saya sedang kesulitan akses internet di Jogja, harus ke warnet :). Jadi sehari atau dua hari satu artikel saja cukup kan ?

Salah satu yg tertulis dan sangat hangat kita bicarakan saat ini adalah mitos-mitos beserta issue-issue seputar bencana. Nah saya langsung cari “benchmark” tolok ukur dengan negara-negara lain.

Saya bertemu dan berbicara sendiri dengan ahli-ahli gempa Jepang tentang awan. Namun mereka justru tidak tahu bahwa awan ini menjadi issue di Jepang, saya agak kurang yakin lah wng isu awan itu merebak kuat di Indonesia je. Namun beliau banyak menyiggung bahwa setiap hari dia juga mendengat issue serta mitos sehubungan dengan gempa besar yang akan melanda kota-kota di Jepang. Namun masyarakat disanapun masih banyak yg percaya dengan mitos-mitos (hanya sayangnya saya belum tahu mitos apa yg ada di di Jepang sana). Yang jelas negata semaju seperti Jepangpun masih juga dihiasi dengan issue.

Kemudian saya berjumpa dengan salah seorang pegawai “BMG Lokal” California. Tahu kan, California merupakan kota atau negara bagian gempa di Amerika?. Beliau memberi saya bebrapa leaflet (brosur-brosur) tentang bagaimana bersiap-siap menghadapi gempa. Lagi-lagi saya tanya soal mitos. Dia cuman senyum saja, bahwa hal itu tidak mungkin dihapus, anggap saja mitos bagian dari kewaspadaan. asalkan tidak berlebihan .. Wah !

🙁 “Nasehat yag bagus dan cukup netral ya ?”

Karena kalau mitos-mios ini berlebihan akan sangat merugikan dalah dunia pengajaran atau public education. Kebetulan beliau ini betugas mengajar ke masyarakat juga. Selain itu mitos didasarkan atas kepercayaan yg berlebihan pada apa yg diketahui, dan menurut beliau mitos-mitos ini sangat mudah diboncengi niat jahat seseorang.Salah seorang peserta juga memberitahukan ke saya bahwa sebuah survey di New York tentang kewaspadaan tsunami hanya menunjukkan 10% warga New York sadar akan bahaya tsunami dikotanya. Namun ini bukan berarti bahwa kita boleh tidak waspada looh. Saya hanya menunjukkan bahwa kita harus lebih waspada karena ancaman kita lebih besar dari New York kan ?
Saya jadi teringat ketika sesorang yg tidak mengerti bagaimana tsunami itu terjadi, menjadi panik ketika ada yg teriak tsunami.

Hal itu terjadi di daerah Bantul ketika gempa 2006  kemarin. Ada yang berteriak keras” Tsunamiii …!” Dan akhirnya banyak yg meninggalkan rumahnya yg tidak terjaga. Tentusaja beberapa sepeda motor dikabarkan raib dari beberapa rumah disebuah desa di Kasongan, Bantul. Kasongan ini tempat kerajinan gerabah yg terkenal diselatan Jogja. Ini kejadian di hari kedua setelah gempa. Padahal kita tahu bahwa tsunami terjadi pada hari yang sama dengan gempa. Namun karena issue gempa susulan menjadikan kepanikan.

Jadi bagi yg percaya dengan mitos ya silahkan tetapi harus sangat berhati-hati, karena sekedar percaya dengan mitos dan kurangnya kebiasan mengolah dasar berpikir logis dan kritis yang kalau berlebihan ternyata sering merugikan.

Di California yang sudah educatedpun ada mitos baca ini – Mitos gempa di California

Salam Waspada

Liked it? Take a second to support Dongeng Geologi on Patreon!

8 KOMENTAR

  1. John Twig bilang kalo salah satu mitos yang harus dihilangkan adalah menganggap bahwa bencana itu adalah musibah yang ditimpakan oleh tuhan tanpa kita bisa mengelaknya, hal ini membuat banyak orang pasrah ketika menghadapi bencana,dan hanya melakukan tanggap darurat ketika atau setelah bencana terjadi, yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma managemen darurat menunju manajemen resiko bencana

  2. mas rovicky,
    bikin tulisan dong tentang semburan lumpur panas di porong. apa hal itu biasa terjadi di dunia perminyakan? juga ada kemungkinan gak ya lumpurnya bisa distop. soalnya takutnya nih, lama2 pulau jawa tenggelam sama itu lumpur…hiiyyyy…. syereeemmm … 🙁

  3. setuju mas Dedi, memang sebaiknya pengetahuan ttg gejala bencana alam sudah selayaknya dimulai sejak dini untuk seluruh lapisan masyarakat.
    saya ada usul kalo pengenalan gejala bencana alam bisa bisa disosialisasikan secara periodik,dengan bahasa yang dapat dimengerti secara umum

    Kegitan itu bisa dimulai dari :

    1. Perusahaan – perusahaan pertambangan ( oil, gas dan mineral ), kontraktor dan subkontraktornya kepada para karyawannya, mulai dari level manajemen sampai office boy. Masing – masing karyawan dibekali printoutnya,agar bisa diteruskan lagi ke keluarganya di rumah.

    2.Perusahaan – perusahaan swasta lainnya dengan narasumber dari ahli geologi di daerah setempat.

    3.Kalangan perguruan tinggi, dengan melakukan kuliah umum bagi mahasiswanya.

    4. kelompok pegiat alam bebas, kelompok ini yang paling memungkinkan untuk disosialisasikan sebab menyangkut kegiatan mereka yang langsung berhubungan dengan alam seperti : hiking, climbing, caving, dan susur pantai.
    sehingga pada saat mereka melakukan kegiatan, misalnya mendaki gunung,mereka tahu bahaya yang mengancam dari kegiatan itu,pada saat melakukan rock climbing, mereka tahu tebing mana yang aman di panjat atau tebing mana yang akan longsor,dll.

    5. Dll

    Kalo kesemuanya diatas di sosialisasikan, lalu mereka sosialisasikan lagi kepada keluarga dan lingkungan sekitar InsyaAllah masyarakat akan sadar dan menjadi waspada, apapun bencananya.

    salam

    boogie

  4. Ketika gempa bumi terjadi di yogyakarta dan sebagian jawa tengah terjadi, tidak saja masyarakat awam yang panik dng issue tsunami, tetapi juga pelajar, mahasiswa, guru, dosen dan pegawai2 swasta&pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa mmg pengetahuan ttg bencana masih kurang sekali dikalangan masyarakat. Terlebih adanya issue awan gempa yg muncul sebelumnya, masih saja dikait2kan dng mitos nyai roro kidul dan gunung merapi. (mitos; ada hajatan antara penghuni merapi dengan ratu laut selatan).
    Intinya adalah kita belum bisa membedakan mana gejala alam dan keprcayaan masy, apalagi masy jogja sangat kental dengan budaya kejawen (masy aslinya). Bagaimana memberi pengetahuan ttg gejala2 alam (bencana) sudah selayaknya dimulai sejak dini untuk semua kalangan masy (bukan hanya murid SD saja).

    Salam kenal Pak Rovicky 🙂

  5. den,
    kalo ngomongke mitos…
    yang namanya orang indonesia gak mungkin lepas dari mitos bahkan klenik ato gugon tuhon yang sudah mengakar dalam budaya indonesia toh ?
    tapi inyong-e setuju dengan pernyataan bahwa anggap saja mitos bagian dari kewaspadaan asal jangan berlebihan.

    den,
    yang “agak” saya sayangkan (terutama waktu pertama kali masuk kuliah) kita orang2 “kepala batu” pada waktu perkenalan tentang geologi “lebih” pada industrinya yaitu migas dan tambang… en kayaknya, waktu itu, hampir semua PT yang ada geologi-na gitu juga dech…
    padahal kata salah seorang dosen saya, waktu itu, geologi tuh gak cuman ngebahas industri migas en tambang, tapi juga lingkungan dan planologi en so on. Parah na lagi ada yang extrim kalo “orang2 kepala batu” ini melulu ditanya-in masalah akik. nah lo. ngenes pokok-e dach.

    so,
    sekarang setelah kita tau bahwa kita hidup dan cari hidup di atas ring of fire yang punya potensi bencana yang luar biasa banyak tapi juga menyimpan potensi energi dan sumber daya berlimpah harusnya dipikirkan dibentuk suatu departemen khusus yang terpisah dari ESDM. gak semuanya digabung di sono, tul gak ?
    kasian orang2 di ESDM-na tuh…
    ya ngurusin industri migas en tambang, ya ngurusin “peti”, ditambah lagi masih ngurusin manajemen bencana… mumet tuh
    bisa2 kepalanya jadi kayak batu beneran nantinya… hihihi

    mekaten rumiyin den,
    en masih nunggu “dongengan-dongengan” njenengan yang “njenggleng” (kayak pangkur ya ?)

    salam,
    bung thons

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here